BANYUWANGI//hariantempo.com -Dewan Kesenian Belambangan (DKB) membuka kalender literasi 2025 dengan kegiatan bertajuk Ajar Bareng Lontar Yusuf di Rumah Budaya Osing (RBO), Desa Kemiren, Selasa (3/6/25). Agenda ini menjadi langkah nyata DKB dalam revitalisasi naskah-naskah tradisional Banyuwangi, khususnya sastra lisan masyarakat Osing yang nyaris terlupakan.
Menggandeng budayawan Kang Pur—pelestari tembang macapat dan manuskrip kuno—DKB menghadirkan sesi pembelajaran yang menyentuh sisi batin peserta. Lontar Yusuf, yang dibacakan dalam pupuh Kasmaran, mengajak peserta menyelami kembali nilai-nilai spiritual, kelembutan cinta, dan laku budaya yang sarat filosofi.
“Lontar Yusuf ini bukan sekadar teks. Ia adalah jendela batin, sarana menyelami rasa dan nilai-nilai,” ujar Kang Pur saat membuka sesi. Ia menekankan bahwa melagukan tembang bukan semata olah suara, melainkan latihan rasa dan kepekaan.
Para peserta berasal dari beragam latar: pengurus DKB, komunitas Lentera Sastra Banyuwangi, pegiat budaya lokal, hingga perwakilan dari Rumah Topeng dan Wayang Setiap Darma, Bali. Mereka duduk melingkar tanpa sekat usia dan pengetahuan, menciptakan suasana yang egaliter dan intim.
Setelah Kang Pur memberikan contoh pelaguan sesuai pakem, satu per satu peserta mencoba menyuarakan bait-bait Lontar Yusuf. Meski tidak semua tepat secara teknis, suasana yang tercipta justru hangat dan mendalam. “Kegiatan ini bukan soal benar-salah. Ini soal menghadirkan rasa,” ungkap salah satu peserta.
Ketua DKB Hasan Basri menyatakan kegiatan ini akan dijadikan agenda rutin. Menurutnya, Rumah Budaya Osing bukan sekadar ruang pertunjukan, tetapi juga habitat hidup bagi sastra lisan yang mengakar kuat di masyarakat Osing. “Kami ingin menjadikan tempat ini sebagai ruang apresiasi lintas generasi,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Lentera Sastra Banyuwangi, Syafaat, menyoroti dimensi spiritual dari naskah tersebut. “Lontar Yusuf erat kaitannya dengan sejarah penyebaran Islam di Banyuwangi, yakni penggunaan huruf Pegon dan cerita yang terinspirasi dari kitab suci. Membacanya seperti menelusuri jejak spiritual masyarakat Osing,” katanya.
Menjelang akhir sesi, Kang Pur membedah bagian awal lontar yang dibaca bersama. Narasi tentang kelahiran Nabi Yusuf, digambarkan sebagai “cahyaning jagad”, diinterpretasi sebagai lambang keindahan lahir dan batin, serta cinta yang memuliakan.
Dalam suasana kontemplatif yang dipenuhi aroma kopi Kemiren dan keteduhan bangunan kayu, kegiatan ini menjadi semacam ziarah rasa. Masa lalu dan masa kini berpadu dalam satu ruang, menyulam ulang ingatan kolektif masyarakat Banyuwangi terhadap khazanah budayanya sendiri.
DKB berencana mengembangkan Ajar Bareng Lontar Yusuf ke dalam bentuk lintas seni, memadukan tembang, ilustrasi visual, dan pertunjukan dramatik. Harapannya, generasi muda dapat menjangkau warisan sastra klasik dengan cara yang segar, tanpa melepaskan akarnya dari nilai-nilai tradisional.