Sejarah (hariantempo.com) Apa gerangan yang membuat visi sebesar dan semulia itu, yang dipercaya menjadi kunci mengembalikan kejayaan Indonesia, seperti gayung yang tak bersambut? Seperti cinta yang tak bertepuk?.
Visi PMD dibangun dengan ajakan kembali menjadi bangsa pelaut yang berjiwa cakrawati samudera.“Bangsa yang kesibukannya di lautan menandingi irama gelombang itu sendiri,” kata Soekarno. Narasi yang dikutip Jokowi pada pidato kepresidenannya 24 Oktober 2014 silam.
Sayang, hingga kini,visi PMD sebagian besarnya hanya hidup di ruang-ruang kebijakan kementrian dan lembaga terkait.Juga di selasar kelas universitas yang ingin ikut andil dalam mewujudkan visi besar itu sebagai bagian tridharma perguruan tinggi.
Jika anda tak percaya, sesekali datanglah ke tengah-tengah pemukiman rakyat kebanyakan. Berjalanlah ke padang dan lembah, ke desa-desa di kaki gunung, ke kota-kota yang ramai, atau bahkan ke pemukiman nelayan di sepanjang pesisir pantai. Adakah mereka mendengar tentang visi itu? Adakah mereka menyambutnya dengan riang gembira? Adakah harapan yang tumbuh dan kembang di aktivitas keseharian orang kebanyakan?.
Atau jangan jauh-jauh. Di gadgetmu, di grup-grup media sosial dimana anda bergabung, adakah visi PMD menjadi tema perbincangan mengasikkan? Melampaui hal ikhwal omnibus law, UU Minerba, gosip selingkuhan politisi, atau riuh rendah pilkada? Saya yakin jawabannya: tidak. Sebagian besar masyarakat Indonesia tidak mengetahui visi PMD. Visi yang kini diteruskan jilid keduanya di kabinet Indonesia maju.
Mungkin ada juga segelintir rakyat yang mengetahuinya namun tak punya dorongan untuk terlibat. Visi ini seperti bukan milik rakyat. Terasa jauh berjarak. Jangan bandingkan dengan gerakan cinta rupiah yang sempat trending tahun 1998 ketika dolar melambung dan rupiah jatuh sampai pada level terendahnya.
Ini bukan sebatas asumsi. Saya melakukan riset kecil kepada masyarakat di 3 kabupaten di Sumatera tengah tempat saya bekerja. Ada kurang lebih 20 desa dan nagari yang saya datangi untuk urusan pekerjaan sambil mensurvei seberapa jauh mereka mengetahui tentang visi PMD. 20 desa dan nagari ini tersebar mulai dari kaki bukit barisan (Sumbar) sampai ke pantai timur Sumatera (Riau dan Jambi). Dari yang disebut orang “gunung” sampai ke warga “pesisir”.
Tak ayal, saya menemukan betapa mereka mengetahui Nawacita sebagai slogan yang sangat populer namun tak memahami bahwa “memperkuat kembali jati diri sebagai negara maritim” adalah bagian dari pokok pertama dalam 9 cita-cita bangsa itu.
Jika demikian, apa pasal yang menjauhkan visi PMD ini dari rakyat kebanyakan? Tulisan ini bermaksud urun saran dari anak bangsa yang percaya bahwa besi menajamkan besi, manusia menajamkan sesamanya. Ditegakkan atas asumsi bahwa ada semacam “barrier” yang menjadi penghalang diterimanya visi kemaritiman di tengah denyut hidup keseharian masyarakat kita.
Visi negara maritim ibarat penumpang yang hendak masuk ke dalam lift yang telah penuh orang. Sebelum kita mengeluarkan satu atau dua mereka yang tak relevan berada di dalam lift itu, takkan ada yang bisa masuk. Upaya melangkah maju pun sia-sia.
Pertama, Indonesia sebagai negara maritim adalah mengikuti takdirnya karena luas negara ini bagian terbesarnya adalah lautan. Identitas yang terberi (gifted). Sejarah juga telah menjadi saksi kebesaran peradaban maritim nusantara dengan tegaknya kerajaan-kerajaan penguasa lautan seperti Sriwijaya, Samudera Pasai, Singosari dan Majapahit.
Dulu, identitas sebagai negara maritim dengan mentalitas sebagai bangsa pelaut masih satu padu. Tidak terbelah. Namun, sejarah berbalik persis ketika kolonialisme hadir dan menyusup pertama kali dengan motif dagang. Bangsa-bangsa penjajah ini tidak tiba dengan pasukan udara, tapi penetrasi maut armada laut. Menaklukkan Hindia dimulai dari pesisirnya.
Rakyat lalu terdesak masuk ke pedalaman. Laut yang awalnya sumber kehidupan, garda terdepan pertahanan, berubah menjadi gerbang bagi datangnya penderitaan.
Orang bijak bilang, luka yang terdalam bukanlah luka fisik. Tapi luka yang ditorehkan pada ingatan. Dan selama itu pula laut hidup dalam ingatan kita lebih sebagai ancaman. Selama masa pendudukan kolonial, rakyat takut hidup dekat laut. Berbagai perang besar juga terjadi di pesisir. Belakangan ketakutan ini semakin menjadi dengan adanya berbagai bencana yang datang dari laut (tsunami dll)
Pendudukan kolonial juga merubah pola konsumsi orang-orang pribumi. Demikian menurut beberapa ahli gastronomi dari Unpad. Ikan yang berkelimpahan, perlahan bukan lagi pangan utama. Beralih moda ke daging (ayam, sapi, kerbau dan babi) yang digemari bangsa penjajah. Bahkan setelah merdeka, pola pendudukan dan moda pangan tak berubah. Bangsa samudra dibuat tak relevan. Semakin jauh ditinggal di batas belakang.
Laut jadi seperti mantan, pernah disayang namun kini dilupakan.
Kedua, telah jatuh tertimpa tangga, terinjak-injak pula. Telah disurukkan bangsa kolonial, dibenamkan pula oleh dogma pemerintah orba. Demikian barangkali analoginya (mungkin juga tidak tepat). Setelah kolonialisme menjauhkan rakyat dari buritan, disusul orba mencekoki kita dengan ambisi sebagai bangsa agraris. Dogma ini ditanam lewat bangku sekolah dan berbagai slogan pembangunan.
Saya adalah produk dari sekolahan yang mengajarkan visi itu. Saya yang anak pelaut, pernah percaya bahwa jika ingin berkontribusi untuk negeri, tinggalkan pesisir, masuklah ke kota-kota dimana industri berada. Bangsa agraris adalah bangsa yang prikehidupannya berada di darat. Tumpuan nasibnya pada tanah. Dan Indonesia adalah negeri terberkati dengan lahan yang subur makmur magrifah loh jinawi.
Lalu lautan dipunggungi. Dianggap sebagai pemecah daratan. Pemisah pulau-pulau. Paradigma pembangunan meniru negara-negara benua, continental oriented.
Ketiga, Indonesia adalah negeri air. Masyarakatnya sangat terikat dengan tradisi perairan. Dan air, bukan hanya tentang laut.
Sebagian besar rakyat kita justru tak punya akses terhadap laut. Terlebih setelah banyak daerah pantai dan pesisir dikapling para pemilik modal. Laut menjadi lokus mahal. Hanya bisa disaksikan di layar TV atau saat liburan sesekali.
Namun sebagai negeri air, masyarakat kita memiliki lautnya sendiri. Ada sungai yang menghubungkan gunung, bukit, lembah dan kota-kota. Ada danau-danau dataran tinggi yang alirannya menghidupi sungai-sungai sebelum akhirnya jatuh ke bibir laut.
Bagi masyarakat ini, sungai adalah laut mereka. Orang-orang Sumatera biasa menyebut sungai sebagai Laut. Seperti dalam percakapan “Nak kemano? Dijawab “Nak ke laut”, yang maksudnya adalah ke sungai, entah untuk mandi atau mencari ikan.
Sungai adalah anak-anak laut yang terpental dari kebijakan kemaritiman kita. Ketika pemerintah merumuskan KKI (Kebijakan Kelautan Indonesia) lewat Perpres 16 tahun 2017, salah satu yang menjadi perhatian utama adalah membangun konektivitas antar pulau (archipelago oriented).
Suatu ide besar. Namun di saat yang sama, tanpa sungai, menjadi ahistoris. Untuk membangun konektivitas antar pulau, terlebih dahulu harus dikuatkan konektivitas antara pedalaman dan pesisir melalui jalur sungai. Kemaritiman Indonesia tak pernah terlerai dari sungai. Kehidupan bukan sekedar di garis pantai, tapi menyebar di gunung, bukit, lembah dan kota-kota.
Sebagai bukti kita bisa sajikan implementasi tol laut. Pelabuhan dibangun di banyak titik episentrum Indonesia timur. Program ini telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat daerah tujuan. Disparitas harga berangsur teratasi. Kesejahteraan mulai hadir. Namun di saat yang sama persoalan baru muncul yaitu minimnya arus balik barang. Kapal berangkat penuh dan pulang kosong. Karena pusat ekonomi masih berdenyut di pedalaman.
Sejarah kemaritiman kita mencatat, etape migrasi manusia ditempuh melalui jalur sungai. Etape perdagangan barang dan jasa, nilai-nilai budaya, dan segala yang menjadi buah pergerakan kehidupan berdenyut di sepanjang aliran sungai.
Sriwijaya takkan besar tanpa emas, rempah dan getah damar yang didatangkan dari pedalaman melalui jalur sungai. Majapahit takkan unggul tanpa disusui sungai Brantas. Pun Batavia. Juga Kesultanan Banten.
Saya rasa salah satu kunci penting untuk menjawab mengapa visi maritim belum bersambut karena adanya semacam keterputusan kebijakan. Sejenis missing link dalam teori evolusi Darwin.
Dalam dokumen KKI sendiri diakui, salah satu tantangan pembangunan kelautan Indonesia, adalah kesulitan menyatakan pada orang pegunungan bahwa mereka adalah bangsa pelaut atau sebaliknya (Perpres No.16 tahun 2017, Bab III, poin 1).
Dengarlah bagaimana kesaksian pak Endi, yang asli Dayak Kalbar dalam Musyawarah Nasional Bangsa Samudra yang digelar Perkumpulan Wangsamudra,13 November 2020 lalu. Pak Endi mengisahkan pilihan karirnya “yang tak biasa: menjadi aparatus Dinas Kelautan Kalbar. Di banyak pertemuan di komunitas Dayak, ia kerap dicap sebagai “orang laut” dan dianggap bukan bagian dari Dayak. ”Ini orang laut, tidak usah diajak bicara”, begitu ujar kawanannya. Belum lagi di lingkup pemerintahan Kalbar, dinas kelautan terbilang anak bawang. Tak pernah istimewa baik dalam anggaran maupun program.
Menurut pak Endi di Kalbar khususnya dan Kalimantan umumnya, wacana kemaritiman terbilang terbelakang.Persepsi Dayak adalah orang gunung yang berjarak dengan lautan, salah satu faktor pembentuknya.
Keempat, sejauh ini pemerintah belum berhasil menjabarkan relevansi kemaritiman dengan prospeknya memenuhi kesejahteraan hidup rakyat.
Perekonomian masih dibangun berdasarkan hasil bumi (tanah), bukan hasil laut. Menurut data BPS, penyumbang devisa negara tahun 2017, 3 tahun paska pencanangan visi maritim, masih belum bergerak dari sektor Kelapa Sawit, tekstil, batubara, migas dan pariwisata.
Sama buramnya dengan kolonialisme yang gagal melihat potensi laut Indonesia yang luar biasa, tak sebanding dengan hasil kebun dan hutan (kopi, rempah dst) atau mineral (batu bara, minyak dll) dalam tubuh tanah pertiwi.
Menjadikan visi kemaritiman menjadi bagian dari gerak langkah besar segenap anak bangsa, baiknya berangkat dari pengalaman hidup mereka sehari-hari. Dirumuskan bukan dari yang ideal, tapi dari yang praktikal.
Diluar beberapa poin yang disebut diatas, tentu pembaca dapat menambahkan hal-hal yang menjadi barrier lainnya.
Jika Einstein mengatakan “there is no knowledge better than experience”, maka baiknya rezim JKW – Ma’ruf menjadikan pengalaman 5 tahun periode pertama yang tak bersambut itu, dengan mengkonstruksi visi berbasis kegagalan empirikal.
Ada semacam mental block yang harus dirubuhkan, baiknya sebelum, atau simultan dengan pembangunan infrastruktur kemaritiman.
Dr.Ir.Tukul Rameyo, Staf ahli antropologi-budaya Kemenko Kemaritiman dan investasi, dalam munas yang dihelat perkumpulan Wangsamudra, mengatakan tak ada waktu yang paling tepat untuk itu selain hari-hari ini. Tahun-tahun dimana RPJP 1 2005-2025akan segera berakhir. RPJP I yang masih berparadigma kontinental . Rameyo mengundang segenap anak-anak bangsa samudra ini untuk menyumpang pikir dalam penyusunan RPJP II.
Dan kelak di ujung RPJP II 2025-2045, Indonesia tiba tepat di 100 tahun kemerdekaannya. Tidak seperti kisah “Seratus Tahun Kesunyian”- nya Marques yang membentuk Amerika Latin, tahun-tahun kita adalah tahun yang ramai, tahun yang riuh, tahun dimana bangsa Indonesia kesibukannya di laut menyamai irama gelombang laut itu sendiri.