Kuantan Singingi — Dugaan praktik curang dalam operasional jembatan timbang PT Asia Sawit Makmur Jaya (ASMJ) di Desa Jake, Kecamatan Kuantan Tengah, memicu kemarahan publik. Perusahaan dituding merugikan petani sawit akibat penggunaan timbangan elektronik yang diduga tidak akurat. Namun dalam pembelaannya, manajemen PT ASMJ justru mengklaim bahwa kerusakan alat timbang tersebut menguntungkan petani.
Pernyataan mengejutkan itu disampaikan langsung oleh Manajer Operasional PT ASMJ, Riko Ade Fitria. Ia menyebut, alat timbang yang dipermasalahkan sebenarnya mencatat tonase lebih tinggi, yakni sekitar 50 kilogram per kendaraan. “Tonase dari petani justru bertambah, bukan berkurang,” ujarnya dalam wawancara dengan salah satu media daring.
Namun pembelaan itu tidak serta-merta diterima. Wakil Ketua I DPRD Kuansing, Satria Mandala Putra, yang hadir langsung dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada 2 Juni 2025, menyatakan bahwa data di lapangan menunjukkan sebaliknya.
“Tak perlu debat di media. Hearing sudah jelas. Mana ada perusahaan yang mau rugi? Kalau benar petani diuntungkan, kenapa petani justru mengeluh?” tegas Satria kepada wartawan.
Rapat Dengar Pendapat yang digelar Komisi II DPRD Kuansing mengungkap dugaan kerugian petani mencapai Rp252 juta per minggu. Perhitungan itu muncul dari selisih rata-rata 50 kilogram per truk selama tiga minggu operasional. DPRD menduga perusahaan telah memanfaatkan timbangan yang tidak layak pakai untuk meraup keuntungan secara sistematis.
Berdasarkan hasil inspeksi lapangan sebelumnya, Komisi II menemukan bukti adanya ketidaksesuaian berat antara hasil timbangan perusahaan dengan berat sebenarnya. DPRD pun langsung meminta agar timbangan disegel sementara menunggu tera ulang dari instansi berwenang.
“Ini bukan soal kelalaian teknis, tapi menyangkut kepercayaan publik. Jangan sampai petani terus menjadi korban dari sistem yang tidak transparan,” lanjut Satria.
Hingga kini belum ada petani yang melapor secara resmi ke aparat penegak hukum. Namun DPRD Kuansing menyatakan siap mendorong proses hukum jika terbukti ada unsur kesengajaan dalam praktik ini. “Kalau tak ada yang melapor, DPRD bisa keluarkan rekomendasi sebagai dasar hukum. Kita tak akan tinggal diam,” ujar Satria.
Klaim sepihak PT ASMJ soal petani “diuntungkan” oleh alat timbang rusak justru dinilai mencederai akal sehat. Publik kini menantikan langkah konkret dari dinas teknis, kepolisian, dan DPRD agar kasus ini tidak berhenti di ruang hearing.
Dalam konteks bisnis perkebunan, ketepatan alat timbang bukan hanya soal teknis, tapi menyangkut keadilan distribusi hasil. Saat perusahaan memegang kendali penuh atas penentuan berat TBS, sementara petani hanya bisa pasrah pada hasil cetakan digital, maka celah kecurangan terbuka lebar.
Kasus PT ASMJ ini menjadi cermin bagi tata kelola industri sawit di daerah. Keterlambatan respons regulator, lemahnya sistem audit alat ukur, serta sikap defensif korporasi, memperjelas satu hal: petani selalu di posisi paling rentan.