KUANTAN SINGINGI — Skandal hukum lingkungan kembali mengguncang Kabupaten Kuantan Singingi. Plang segel negara yang dipasang Satgas Pencegahan dan Penegakan Hukum Kehutanan (PKH) di kantor PT Udaya Lohjinawi mendadak hilang. Padahal, perusahaan ini diduga menguasai ±107 hektar kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) yang membentang di Kecamatan Kuantan Tengah dan Gunung Toar, Kabupaten Kuantan Singingi.
Segel yang dipasang pada 16 Maret 2025 sejatinya menjadi tanda tegas kehadiran negara dalam menindak pelaku perambahan hutan tanpa izin pelepasan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Namun, publik dibuat terperangah: simbol penegakan hukum itu lenyap begitu saja, seolah tak pernah ada.
Bagi masyarakat, hilangnya segel bukan sekadar papan kayu, melainkan gambaran telanjang tentang rapuhnya kedaulatan hukum. Pertanyaan pun mengemuka: apakah hukum negara bisa dipindahkan seenaknya demi kepentingan korporasi?
Manajer PT Udaya Lohjinawi, Sembiring, membantah saat konfirmasi media ini. Ia mengatakan segel tersebut hanya “dipindahkan” oleh Satgas PKH setelah melalui proses verifikasi hukum di Kejati Riau dan Kejagung. Ia bahkan menyertakan foto saat pemindahan segel.
“Plang dipindahkan pada 28 April 2025 setelah verifikasi hukum. Jadi bukan hilang, tapi memang dipindahkan,” ujarnya.
Namun, alih-alih menutup polemik, pernyataan itu justru memantik tanda tanya baru. Jika segel benar dipindahkan, maka status hukum lahan tetap belum jelas. Kasus belum selesai, tetapi publik bisa digiring seolah-olah perusahaan sudah bersih.
Saat ditanya terkait dugaan penguasaan 107 hektar HPK, Sembiring menjawab singkat:
“Sudah diproses, Pak. Menunggu dari Agrinas.”
Jawaban ringkas ini makin mempertebal dugaan bahwa PT Udaya Lohjinawi belum memiliki legalitas sah. Padahal, regulasi jelas menyebut: UU No. 41/1999 tentang Kehutanan dan UU No. 18/2013 tentang Pemberantasan Perusakan Hutan menegaskan bahwa menggarap kawasan hutan tanpa izin KLHK merupakan tindak pidana serius.
Dengan fakta ini, publik menilai hilangnya plang bukan sekadar persoalan administratif, melainkan indikasi adanya intervensi, kompromi, bahkan kemungkinan permainan hukum.
Kasus ini meninggalkan satu pertanyaan tajam: apakah hukum di kuansing (Riau) masih berpihak pada rakyat dan lingkungan, atau justru tunduk pada kekuatan korporasi?
Jika aparat penegak hukum terus membiarkan, sejarah akan mencatat preseden berbahaya: segel negara bisa lenyap begitu saja, sementara perusahaan bebas merambah hutan negara. Sebuah tamparan keras bagi wibawa hukum dan keadilan di Indonesia.