Kuantan Singingi — Dunia pendidikan seharusnya menjadi taman bagi keadilan tumbuh, tempat di mana akal dan hati berjalan seiring. Namun di SMA Negeri 1 Sentajo, Kecamatan Sentajo Raya, Kabupaten Kuantan Singingi, nilai itu seolah mulai layu. Di balik tembok sekolah yang berdiri megah, tersimpan kisah getir seorang pedagang kecil berinisial H, yang kini harus menunduk lesu di hadapan secarik kertas yang tiba-tiba menjadi penentu hidup orang sebuah surat pemberhentian dari pihak sekolah yang memutus penghidupan yang telah ia jalani lebih dari dua dekade.
Selama bertahun-tahun, aroma masakannya menjadi bagian dari denyut kehidupan sekolah. Dari pagi hingga siang, kantin kecilnya adalah ruang singgah bagi perut yang lapar dan hati yang lelah. Namun kini, kepulan asap dapurnya seolah padam, tersapu oleh kebijakan yang datang tanpa jeda, tanpa dialog.
Surat bernomor 400.3.8/SMAN.1-SR/2025/174, dikeluarkan oleh SMA Negeri 1 Sentajo Raya pada 31 Oktober 2025, dan ditandatangani oleh Kepala Sekolah Drs. Arizal, berisi perintah kepada Hendri, pengelola kantin, untuk menghentikan operasional kantin mulai 3 November 2025 hingga waktu yang tidak ditentukan.
“Sehubungan dengan hasil evaluasi dan pengamatan pihak sekolah, Saudara dinilai telah berulang kali membiarkan siswa merokok di lingkungan sekolah, sehingga dianggap melanggar ketentuan Permendikbud Nomor 64 Tahun 2025 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah.”
Sebuah kalimat yang dingin dan tegas namun di balik ketegasan itu, terselip tanya: benarkah pelanggaran itu satu-satunya alasan, atau hanya menjadi pagar aturan yang menutupi aroma kepentingan?
Menurut informasi yang diperoleh media ini, di sekolah tersebut terdapat dua kantin. Ironisnya, hanya satu yang diminta angkat kaki, sementara yang lain tetap dibiarkan beroperasi.
“Entah apa bedanya, tapi yang satu diusir, yang satu dilindungi,” ujar seorang sumber yang enggan disebut namanya, menahan nada getir di ujung kata.
Tak berhenti di situ, kabar yang berembus semakin kencang. Para guru disebut-sebut diarahkan untuk tidak lagi berbelanja di kantin lama, melainkan di koperasi sekolah, yang konon pemasok utama bahan dagangannya adalah istri kepala sekolah sendiri. Setiap pagi, perempuan itu disebut rutin mengantar barang ke sekolah seolah menggambarkan pergeseran halus antara tanggung jawab publik dan kepentingan pribadi.
Padahal, di masa kepala sekolah sebelumnya, hubungan antara pihak sekolah dan pedagang terjalin dalam harmoni. Bila jam pulang sekolah dimajukan, pedagang diberi tahu agar takaran masakan tak berlebih. Kini, pemberitahuan itu lenyap, seakan kerugian pedagang tak lagi dianggap urusan hati nurani.
“Jabatan itu amanah, bukan alat untuk menggeser yang lemah. Pendidikan seharusnya mengajarkan keadilan, bukan menjadi panggung bagi keserakahan yang dibungkus aturan,” ujar salah seorang tokoh pemuda Sentajo yang tidak mau namanya dipublikasikan, menatap dengan sorot kecewa namun penuh keprihatinan.
Ia berharap Dinas Pendidikan Provinsi Riau tidak tinggal diam. Sebab, dunia pendidikan bukan hanya ruang mencetak cendekia, tetapi juga cermin moral bangsa. Bila di sekolah saja keadilan bisa dibungkam oleh secarik kertas bermeterai kuasa, bagaimana mungkin murid-murid akan belajar arti kejujuran dan empati?
Hingga berita ini diterbitkan, pihak Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Sentajo, Drs. Arizal, masih dalam upaya konfirmasi untuk ke berimbangan infomasi dalam pemberitaan
Catatan.
Kami memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan ini untuk menyampaikan hak jawabnya melalui media ini, demi keseimbangan informasi dan keadilan pemberitaan

