Kuantan Singingi –Di Desa Jake, Kuantan Singingi, terbentang lahan kebun karet milik pemerintah daerah. Semestinya ia menjadi penopang kas daerah, penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun kini, kebun itu bak panggung sunyi yang dirampas riuh mesin Robin sintingkai. Deru mesinnya menelan suara karet, berganti denting emas yang ditambang tanpa izin.
Tak hanya emas yang digali, di balik tanah retak itu beredar cerita tentang “upeti emas”: fee 20 persen hasil tambang dan pungutan Rp100 per hari per orang sebagai ongkos keamanan. Uang ini, kata warga, menjadi semacam tiket lolos agar operasi PETI berjalan mulus tanpa terusik. Tetapi ke mana uang itu bermuara? Apakah menetes ke kas daerah, atau justru hanyut di kantong oknum? Pertanyaan itu tetap menggantung seperti kabut di atas kebun.
“Kalau resmi, harusnya ada bukti. Kalau tidak, berarti ada permainan. Rakyat hanya dapat debu, orang lain panen untung,” ujar seorang warga, suaranya getir.
Ironi semakin nyata. Lahan seluas 81,7 hektar itu sejatinya sudah disewakan kepada pihak ketiga, Gopa Riski Pratama, dengan nilai Rp40 juta per bulan. Kontrak yang seharusnya menambah PAD, kini justru ditutupi bayang-bayang tambang ilegal.
Ketika dikonfirmasi soal fee dan pungutan itu, Kepala Dinas Perkebunan Kuansing, Andriyama, hanya memberi jawaban pendek: “Besok kami cari infonya.” Kata-kata yang terdengar seperti asap menutup pandangan, bukan menjernihkan persoalan.
Kisah ini bukan sekadar tentang mesin dan emas, tapi juga tentang aturan yang dipijak lalu diabaikan:
Aset daerah yang seharusnya jadi milik bersama, kini ibarat “tanah yatim” tanpa tuan yang menjaga.
Pungutan liar yang berpotensi menjelma jerat korupsi.
Lingkungan yang luka, sungai yang keruh, tanah yang terkoyak.
Tambang ilegal yang ancamannya jelas: jeruji besi dan denda miliaran rupiah.
Belakangan, kabar lain muncul. Berdasarkan informasi yang diterima media ini, Kadisbun Kuansing disebut telah melakukan perusakan bahkan pembakaran terhadap sejumlah peralatan PETI di kebun pemda. “Iya, alat-alat itu sudah dirusak dan dibakar oleh Kadisbun,” ungkap seorang sumber media ini.
Tindakan ini seperti percikan api di tengah kabut tebal: apakah benar-benar tanda keseriusan menumpas PETI, atau sekadar cara memadamkan api yang lebih besar misteri aliran fee 20 persen dan uang Rp100 per hari yang belum juga terjawab?
Kini publik menunggu kejelasan. Sebab, kebun pemda bukan milik segelintir orang, melainkan aset bersama. Dan selama kabut misteri belum tersingkap, kebun itu akan tetap dikenang bukan sebagai ladang karet, melainkan “tambang gelap” yang menyisakan tanya dan luka.

