HarianTempo.com- Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa masyarakat adat tidak diwajibkan memiliki izin usaha dari pemerintah pusat untuk berkebun di kawasan hutan, selama kegiatan tersebut tidak bersifat komersial.
Ketentuan ini termuat dalam Putusan MK Nomor 181/PUU-XXII/2024, yang dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pleno di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (16/10/2025).
“Permohonan pemohon dikabulkan untuk sebagian,” ujar Suhartoyo saat membacakan amar putusan.
Pemaknaan Baru dalam UU Cipta Kerja
Dalam putusannya, MK memberikan tafsir baru terhadap Pasal 17 ayat (2) huruf b dan Pasal 110B ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
MK menyatakan, kedua pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai bahwa masyarakat adat yang hidup turun-temurun di dalam kawasan hutan dan tidak melakukan kegiatan komersial dikecualikan dari kewajiban memiliki izin usaha.
Dengan demikian, masyarakat adat yang berkebun untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tidak dapat dikenai sanksi administratif.
Sejalan dengan Semangat Perlindungan Hukum
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan bahwa putusan ini merupakan bentuk penyesuaian terhadap semangat Putusan MK Nomor 95/PUU-XII/2014, yang sebelumnya telah mengakui dan melindungi hak masyarakat adat atas wilayah hutan adat.
“Mahkamah perlu menyesuaikan norma dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b dan Pasal 110B ayat (1) UU 6/2023 dengan semangat perlindungan hukum bagi masyarakat adat sebagaimana diatur dalam putusan sebelumnya,” ujar Enny.
Ia menegaskan, masyarakat adat yang tinggal secara turun-temurun di kawasan hutan dan bergantung pada hasil bumi untuk kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, dan papan tidak dapat dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam pasal terkait.
Asal Bukan untuk Bisnis
MK menegaskan bahwa pengecualian ini tidak berlaku jika aktivitas berkebun dilakukan untuk tujuan bisnis atau komersial. Dengan demikian, batas antara pemenuhan kebutuhan subsisten dan kegiatan ekonomi berorientasi profit tetap menjadi pembeda yang jelas.
Latar Belakang Gugatan
Permohonan uji materi terhadap UU Cipta Kerja ini diajukan oleh Perkumpulan Pemantau Sawit (Sawit Watch), lembaga independen yang berdiri sejak 1998 dan berfokus pada pemantauan kebijakan serta dampak sosial-ekologis industri kelapa sawit di Indonesia.
Pemohon diwakili oleh Nurhanudin Achmad, Koordinator Badan Pengurus Sawit Watch.
Sawit Watch menilai, kewajiban izin berusaha yang diberlakukan dalam UU Cipta Kerja sebelumnya mengabaikan hak-hak masyarakat adat, terutama mereka yang secara turun-temurun menggantungkan hidup dari hasil hutan tanpa memiliki kepentingan komersial.
Dampak Putusan MK
Putusan ini mempertegas pengakuan negara terhadap hak ulayat dan sistem agrikultur tradisional masyarakat adat.
Selain memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat, keputusan MK juga mencegah kriminalisasi terhadap warga adat yang memanfaatkan sumber daya hutan secara lestari dan nonkomersial.
Namun, MK menekankan bahwa pengecualian izin ini tidak dapat disalahgunakan untuk kepentingan bisnis, sehingga keseimbangan antara hak masyarakat adat dan perlindungan lingkungan tetap terjaga.

